Rabu, 27 November 2013

THARIQAH USHUL FIQH



DALAM perkembangan ilmu Ushul fiqh, muncullah banyak perbedaan dalam menggali hukum islam. Perbedaan itu pula yang menjadikan munculnya teori atau sistem (thariqoh) di kalangan imam-imam Mujtahidin dalam menggali hukum islam tersebut, sehingga muncullah aliran-aliran atau sistem (thariqoh) ushul fiqh.

Pada awalnya dua thariqoh yang muncul setelah masa Imam al Syafi’i, yaitu thariqoh Mutakallimin atau yang di sebut juga dengan Jumhur Ushuliyyin (thariqoh Syafi’iyah) dan thariqoh Hanafiyah . Namun, setelah munculnya kedua thariqoh tersebut kemudian muncul thariqoh Muta’akhirin yaitu thariqoh yang menggabungkan kedua thariqoh tersebut diatas.

Dari ketiga thariqoh diatas, akan coba kami paparkan secara spesifik sebagai berikut;

1. Thariqoh al Mutakallimin.

Thariqoh ini di kenal dengan thariqoh Syafi’iyah, pola pemikiran dalam thariqoh ini adalah, bahwa dalam menetapkan kaidah ushul, mereka tidak terikat kepada penyesuaian furu’ . Dalam membangun teori ini, mereka menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (al Qur’an dan as Sunnah) maupun dari ‘Aqli (akal pikiran), tanpa di pengaruhi masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok) dari berbagai Madzhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai furu’ dan adakalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ madzhab maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam Madzhab atau tidak, artinya mereka membangun ushul fiqh secara teoritis .

Thariqoh ini dinamai dengan thariqoh Mutakallimin karena metode pembahasannya berdasarkan Nazhari, tidak terikat dengan madzhab tertentu dan sebagian besar pengarang ushul fiqh menggunakan sistem ini adalah dari para Ulama Mutakallimin (ulama tauhid) . Sehingga aspek-aspek bahasa sangat dominan dalam pembahasan ushul fiqh mereka. Misalnya, masalah Tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dan dapat dicapai oleh akal atau tidak) dan taqbih (mengangap sesuatu itu buruk dan dapat di capai oleh akal atau tidak) .

Pada dasarnya thariqoh ini lebih mengikuti manhaj (metode) imam al Syafi’i, yaitu lebih mengedepankan dalil naqli ketimbang dalil ‘aqli. Sebagaimana imam al Syafi’i, thariqoh ini memposisikan al Qur’an sebagai nash pertama, kemudian disusul dengan as Sunnah di posisi kedua. Seperti telah di jelaskan di atas, bahwa setiap permasalahan yang diterima akal dan di dukung oleh dalil naqli dapat di jadikan kaidah, walaupun dalil naqli itu bersumber dari hadits ahad . Hal ini dikarenakan imam al Syafi’i lebih mengedepankan hadits ahad daripada rasio, meskipun hal ini banyak di kritik oleh berbagai kalangan.

Adapun kitab-kitab yang di tulis menurut thariqoh al Mutakallimin atau Syafi’iyah adalah :

a. Kitab al Umdah oleh al Qadhi Abd Jabbar al Mu’tazily, wafat tahun 415 H.
b. Kitab al Mu’tamad oleh Abi Husain al Bashri al Mu’tazily, wafat tahun 463 H.
c. Kitab al Burhan oleh Abi al ma’ali Abd Malik bin Abdillah al Juwaini yang di beri gelar imam al Haramain, wafat tahun 487 H.
d. Kitab al Mustashfa oleh Abu Hamid al Ghazali, wafat tahun 505 H
Kemudian kitab-kitab tersebut diringkas oleh ulama-ulama sesudah mereka, yaitu:
a. Kitab al Makhsul oleh Fachruddin al Rozi, wafat tahun 606 H.
b. Kitab al Ihkam Fi Ushuli al Ahkam oleh Abu Hasan al Amidi, wafat tahun 631 H .



2. Thariqoh al Hanafiyah.

Thariqoh ini dikenal juga dengan thariqoh Fuqoha, kerena thariqoh ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak di pengaruhi masalah furu’ dalam madzhab mereka . Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut di ubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. 

Oleh sebab itu, thariqoh ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam madzhabnya, sehingga tidak satu kaidahpun yang tidak bisa diterapkan. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis tehadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam madzhab mereka. 

Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubah kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat Qath’i (pasti)”. 

Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadits ahad (bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i; yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Adapun kitab-kitab yang ditulis menurut thariqoh Hanafiyah antara lain adalah:

a. Kitab Ushul Abi al Hasan al Kurkhy, wafat tahun 340 H, inilah kitab yang pertama disusun dengan sistem thariqoh Hanafiyah .
b. Kitab al Jashash Abi Bakar al Rozi, wafat tahun 370 H .
c. Kitab Ta’sis al Nadzhar oleh Abi Zaid ad Dabbusi, wafat tahun 430 H.
d. Kitab Tamhid al Fushul fi al Wushul oleh Syamsu al Aimah Muhammad bin Ahmad al Sarakhsy, wafat tahun 483 H .
e. Kitab Ushul Fakhri al Islam Ali bin Muhammad al Bazdhawi, wafat tahun 483 H. Kitabnya dinamai dengan Ushul al Bazdhawi .
f. Kitab al Manar oleh Hafizh al Din al Nasafy, wafat tahun 790 H.

3. Thariqoh al Muta’akhirin.

Pada abad ke- 7 H, para ulama mengarang kitab ushul fiqh dengan menggabungkan antara thariqoh Mutakallimin dengan thariqoh Hanafiyah. Para ulama-ulama ini mentahqiq kaidah-kaidah ushuliyah dari kedua thariqoh itu serta meletakan dalil dan argumentasinya serta menerapkannya pada furu’ fiqhiyah. Ulama-ulama yang menempuh sistem ini adalah sebagian dari Fuqoha Hanafiyah dan Syafi’iyah. Thariqoh ini di namai dengan thariqoh al Muta’akhirin karena munculnya setelah ada thariqoh al Mutakallimin dan thariqoh al Hanafiyah.

Adapun kitab-kitab yang ditulis dengan sistem al Muta’akhirin adalah :

a. Kitab Badi’ al Nizham oleh Muzhafir al Din Ahmad bin Ali al Sa’ati al Hanafy, wafat tahun 694 H. Ia telah memadukan dalam kitab ini antara kitab “Ushul al Bazdhawi” dari madzhab Hanafi dan kitab “Ushul al ihkam” dari madzhab al Syafi’i.
b. Kitab Tanqih al Ushul oleh Shodru al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud al Bukhari al Hanafi, wafat tahun 747 H. Ia juga menulis kitab Taudhih sebagai syarah dari kitabnya itu. Dalam kitab Taudhih ini , ia meringkas tiga kitab yaitu kitab Ushul al Bazdhawi al Hanafi, kitab al Maushul karangan al Rozi al Syafi’i dan kitab al Mukhtasar oleh Ibnu Hajib al Maliki.
c. Kitab Jam’ul jawami’ oleh Taj al Din al Subki al Syafi’i, wafat tahun 771 H.
d. Kitab al Tahrir oleh al Kamal bin Hammam al Hanafi, wafat tahun 861 H.
e. Kitab Musallam al Tsubut oleh Muhibbullah bin Abd Syukur al Hindi, wafat tahun 1119 H. Inilah kitab paling baik dari Thariqoh al Muta’akhirin.

Pada abad ke-8 H, muncul Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Syathibi (w. 790 H) dengan kitabnya al Muwafaqat fi al Ushul al Syari’ah. Dalam kitab ini membahas ushul fiqh dengan menguraikan berbagai kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan, ia juga mengemukakan Maqashid al Syari’ah. Kitab ini oleh para ahli ushul fiqh kontemporer di anggap sebagai kitab ushul fiqh yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.

Kemudian pada abad ke- 13 dan seterusnya muncul banyak kitab-kitab ushul fiqh dari ulama kontemporer yang menambah nuansa khazanah dalam bidang ushul fiqh dengan bahasa yang mudah di pahami dan jelas maknanya. Diantara kitab-kitab ushul tersebut adalah :

a. Kitab Irsyad al Fuhul Ila Tahqiq al Haq min ‘Ilmi al Ushul oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani, wafat tahun 1255 H.
b. Kitab Ushul fiqh oleh Syaikh Muhammad Khudhari Bek, wafat tahun 1345 H.
c. Kitab Tahsil al Wushul ila ‘Ilmi al Ushul oleh Syaikh Muhammad Abd Rahman Abd al Mahlawi.
d. Kitab ‘Ilmu Ushul al Fiqh oleh Syaikh Abd Wahhab Khallaf.
e. Kitab Ushul fiqh oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah.



DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al Fiqh, Cairo; Dar al Fikr
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta; LkiS, 2008
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos, 1997
Tahido Yanggo, Huzaemah, pengantar perbandingan Madzhab, Jakarta; Logos, 1997
Zuhaili, Wahbah, al Wajiz fi al Ushul al Fiqh, Beirut; Dar al Fikr, 1995

Jumat, 20 September 2013

Menjadi Pemimpin Yang Ideal



Latar Belakang
Menjadi seorang pemimpin bukanlah merupakan perkara yang mudah, namun banyak diantara kita yang berkeinginan untuk  menjadi pemimpin. Kepemimpinan sendiri mengandung arti proses mempengaruhi orang lain sehingga yang dipengaruhi mau mengerti arahan sang pemimpin. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang sulit itu pada saat ini banyak teori-teori kepemimpinan untuk bahan belajar dan melatih kepemimpinan seseorang. Gaya kepemimpinan seseorang berpengaruh positif terhadap para perilaku anggotanya.
Seorang pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah yang disertai dengan tanggung jawab yang besar. Pemimpin juga harus memiliki hubungan yang dekat dengan Allah agar seorang pemimpin selalu ingat juga akan tugasnya sebagai makhluk di bumi yaitu sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai abdullah (hamba Allah). Al-qur’an memerintahkan para pemimpin untuk melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukan sikap positif kepada pengikutnya. Selain itu, pemimpin juga harus mempunyai sikap efisien (tidak boros) sehingga dana yang ada dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
Generasi muda sekarang harus mampu menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang penolong, bagus moralnya dan profesional. Pemimpin yang penolong dapat sedikit demi sedikit meringankan beban orang lain. Sedangkan pemimpin yang bagus moralnya dan profesional dapat menjadi teladan bagi seluruh anggotanya. Sehingga terwujudlah organisasi yang professional managemennya, bermoral pergaulannya dan bermanfaat guna program dan kinerjanya.

Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin, dalam bahasa Inggrisnya “leadership” yang berati kepemimpinan, dari kata dasar “leader” berarti pemimpin dan akar katanya “to lead” yang terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat orang lain, membimbing, menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya (Usman, 2006).
Secara terminologi menurut Terry dalam Davis (1985) “Leadership is the relationship in which one person, or the leader influences other to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires“ kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias guna mencapai tujuan.

Gaya Kepemimpinan
Nasution (1994) mengemukakan bahwa seseorang pemimpin harus mengembangkan suatu gaya dalam memimpin bawahanya. Menurut Hersey dan Blancard (1982) empat perilaku pemimpin yang spesifik: memberitahukan, menjual, berperan serta, dan mendelegasikan (telling, selling, participating, delegating).
a.       Telling (memberitahukan)
Dicirikan dengan perilaku tugas yang tinggi dan rendah hubungan, atau disebut dengan gaya yang direktif yang menyediakan arahan dan supervisi yang spesifik dan jelas. Telling dicirikan oleh perilaku pemimpin yang menetapkan peranan dan memberitahukan seseorang atau grup tentang apa, kapan, dimana, bagaimana, dan dengan siapa melakukan berbagai tugas. Selain itu, gaya ini juga dilambangkan dengan komunikasi satu arah dimana pemimpin memberikan petunjuk atau arahan-arahan kepada bawahan dalam menyelesaikan tugas dan pencapaian tujuan (Hersey dan Blanchard, 1982). Dalam gaya ini pemimpin selalu memberikan arahan/intruksi.
Adapun inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh pemimpin (Thoha, 2007). Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan yang tingkat kematanganya rendah (low maturity), yaitu tidak mampu dan tidak mau memikul tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan (Hersey dan Blanchard, 1982).
Kekuatan dan kelemahan gaya kepemipinan telling  adalah :

  • 1.      Kekuatan dalam gaya kepemimpinan ini adalah kejelasan tentang apa yang diinginkan, kapan keinginan itu harus dilaksanakan, dan bagaimana caranya.
  • 2.      Kelemahan dari pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini adalah pemimpin selalu ingin mendominasi semua persoalan sehingga ide dan gagasan bawahannya tidak berkembang. Semua persoalan akan bermuara kepadanya mengandung unsur ketergantungan yang tinggi pada pemimpin (Moeljono, 2003).
b.      Selling (menjajakan)
Dicirikan dengan perilaku tugas dan perilaku hubungan yang sama tinggi. Pada gaya yang disebut selling ini pemimpin masih menyediakan hampir arahan, namun melalui komunikasi dua arah dan penjelasan. Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan dengan tingkat kematangan rendah ke sedang (low to moderate maturity) yaitu tidak mampu tapi mau memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas (Hersey dan Blanchard, 1982.
Pemimpin juga menyediakan perilaku mendukung dengan berusaha mendengarkan perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Namun walaupun dukungan terhadap bawahan ditingkatkan, pengambilan keputusan tetap pada pemimpin (Thoha, 2007). Dalam gaya ini proses pengambilan keputusan terletak pada pemimpin, serta tugas-tugas disampaikan dengan jelas.
c.       Partipating (mengikutsertakan)
Dicirikan dengan perilaku hubungan yang tinggi dan perilaku rendah tugas. Pada gaya ini, perilaku pemimpin menekankan pada banyak memberikan dukungan dan sedikit dalam pengarahan. Dalam penggunaan gaya ketiga ini pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah dalam pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan pemimpin adalah secara aktiv mendengar. Tanggung jawab pemecahanan masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar pada pihak pengikut (Thoha, 2007). Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan yang tingkat kematanganya sedang ke tinggi (moderate to high maturity) yaitu mampu tapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin (Hersey dan Blanchard, 1982).
Gaya participating berarti semua anggota maupun pemimpin ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, atau biasa dilakukan dengan musyawarah, mufakat (demokrasi).

d.      Delegating (mendelegasikan)
Dicirikan dengan perilaku hubungan dan perilaku tugas yang sama-sama rendah. Pemimpin dengan gaya seperti ini menyediakan sedikit arahan dan memberikan sedikit dukungan atau tingkat komunikasi dua arah yang rendah. Pemimpin mendelegasikan kepada bawahanya, dan bawahanya memiliki kontrol untuk memutuskan sendiri tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas (Toha, 2007). Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan yang tingkat kematanganya tinggi (high maturity) yaitu mampu memikul tanggung jawab (Hersey dan Blanchard, 1982).
Di tengah-tengah dinamika organisasi, maka untuk mencapai efektifitas organisasi, maka keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Ada saatnya memerlukan telling tetapi ada saatnya pula diperlukan delegating dan yang lainya. Pemilihan gaya kepemimpinan sendiri lebih diutamakan pada persoalan dengan siapa seorang pemimpin berhadapan atau dengan kata lain siapa yang menjadi bawahannya (followers). (Hersey dan Blanchard, 1982).

Gaya Kepemimpinan Di Masa Rasulullah
Hijrah berarti perpindahan/migrasi dari nabi Muhammad dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Hal ini terjadi karena ada isu mengenai akan dibunuhnya Nabi Muhammad SAW, maka secara diam-diam Nabi Muhammad bersama Abu Bakar pergi meninggalkan kota Makkah. Sedikit demi sedikit Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yastrib 320 km utara Makkah. Yang kemudian kota Yastrib berubah nama menjadi Madinah (Shamsi, 1984).
Kepemimpinan Nabi Muhammad terbagi didua kota yaitu di Makkah (selama 13 tahun) dan di Madinah (selama 10 tahun). Namun, di waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan periode Makkah, Rasulullah berhasil menjadikan masyarakat di kota Madinah sejahtera, atau yang biasa disebut masyarakat madani. Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradab (masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation, dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu masyarakat yang menjunjung peradaban.(Barnadib,1998).
Dalam periode Madinah, konsep ini terlihat lebih jelas dibanding periode Mekah. Rasulullah telah menjadikan Madinah dengan kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada di dalamanya sebagai basis untuk meletakkan fondasi keIslaman dan kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini, Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan peradaban. Konsep inilah yang belakangan ini diistilahkan sebagai konsep masyarakat madani (Al-Mabarkafuri, 2008).
Dengan demikian, istilah masyarakat madani memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat Madinah pada masa Rasulullah. Dari sini, kita bisa mengambil sebuah pendapat bahwa konsep masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau warga negara yang berperadaban secara materi (duniawi) saja. Akan tetapi, konsep masyarakat madani sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa Rasulullah adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis keimanan dan keislaman yang kuat, yang kemudian dimanifestasikan dalam nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh seluruh elemen masyarakat. Kondisi seperti ini harus pula disertai dengan geliat intelektual yang tinggi, sehingga menghasilkan komunitas yang berintegritas tinggi dan berperadaban luas. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan akhirat (spirit keagamaan) sebagai fondasi, dan dunia (materi) sebagai bangunannya.

Pemimpin Yang Ideal
1.      Bermoral

a.       Kepemimpinan yang Amanah
Dalam pandangan Islam kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya saja tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Dalam Al-Qur’an, manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah SWT. Pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-ahzab (33): 72 yang artinya “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Namun kebanyakan manusia sering berlaku zalim dan bodoh, yaitu mau menerima tugas tetapi tidak mau melaksanakanya. Ini merupakan amanat yang sangat berat untuk diemban manusia padahal makhluk yang lain memilih untuk ‘enggan’ menerima amanat ini (Chundori, 2012).

b.      Hubungan Dekat dengan Allah
Seorang pemimpin harus memiliki hubungan yang dekat dengan Allah agar selalu ingat akan tanggung jawabnya. Secara kategorial Al-Qur’an mendudukkan manusia kedalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai hamba (‘abd) dan Khalifah Allah (Priatna, 2004). Pandangan kategorikal ini tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme dikotomik. Dengan penyebutan kedua fungsi ini, al-Quran ingin menekankan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas - tugas kesejarahan dalam kehidupannya di muka bumi. Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Tuhan. Kedua, manusia sebagai khalifah, dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama makhluk. Tidak sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifatullah. Begitu sebaliknya, tidak sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah (Shihab, 2007).

c.       Penolong
Pemimpin adalah pelayan, penolong, memiliki kemampuan untuk membimbing (Darmawan, 2006). Perintah Allah untuk saling tolong-menolong sesama manusia dalam hal kebaikan dan ketaqwaan tercantum dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Al-Qur’an dan terjemahan, 1998).
2.      Profesional
Betapa perlunya profesional tugas dan pekerjaan dijiwai dengan semangat amanah yaitu jujur dan adil. Bila setiap muslim menyadari tugas dan tanggung jawab insya Allah mampu meningkatkan semangat kerja prestatif dengan dilandasi dengan kejujuran, keadilan, ketaatan, keikhlasan dan kerja sama ( Fajal, 1997 ). 

a.       Bekerja yang memenuhi keahlian
Keahlian dan kemauan kita untuk belajarlah yang bisa mempercepat kesuksesan. Dengan keahlian yang tinggi, tentu kita akan mudah mencari pekerjaan atau bahkan membuka lapangan pekerjaan.

b.      Bekerja dengan ilmu
Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan perusahaanya. Semakin besar kemampuan dan pengetahuannya terhadap urusan pekerjaan, pengaruhnya akan semakin kuat. Allah telah berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 1 yang artinya “Maha Suci Allah yang ditangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu”. Kekuasaan berada ditangan-Nya sehingga Dia mampu berbuat apa saja yang dikehendaki. Karena tidak ada yang mampu berbuat apa saja kecuali Allah. Dalam hal ini kekuatan manusia untuk mengendalikan perusahaan karena kemampuan dan ilmunya bukan berarti menyamai kekuasaan Allah yang menguasai seluruh langit dan bumi ( Hakim, 2007 ).
Ilmu pengetahuan memang sangat diperlukan, contohnya ada orang yang sudah memiliki kepercayaan yang tinggi tapi masih belum mampu mengembangkan kepemimpinan dirinya karena ia tak memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kepemimpinan. Untuk itu, ia harus belajar dan berlatih tentang ilmu dasar kepemimpinan dan pengembangannya dan setelah itu iya harus terus melatih ilmu yang dia miliki (  Multitama, 2007 )

c.       Kerjasama
Untuk mewujudkan kepemimpinan yang sukses, kerjasama harus  terjalin antar anggota dan orang lain. Dalam kerjasama kita juga harus dapat melakukan komunikasi yang baik antar anggota. Komunikasi yang terhambat membuat banyak rencana yang telah dibuat menjadi terhambat. Tanpa kominikasi, orang lain akan menganggap orang lain tidak ada. Karena itu komunikasi harus dilakukan dengan baik dengan orang-orang yang ada disekitar. Tujuan komunikasi sendiri adalah tersampaikanya apa yang ingin anda sampaikan kepada orang lain. Komunikasi yang baik dan efektif tidak menuntut banyak kata-kata yang indah yang membuat orang terpesona. Kominikasi efektif merupakan komunikasi yang sederhana, tidak bertele-teledan tepat pada sasaran yang dimaksud ( Multitama, 2007 ).

d.      Menghargai waktu
Demi waktu. Sesungguhnya manusia ada dalam kerugian.” Dalam Alquran surat Al-ashr ayat 1 dan 2 ini, Allah SWT bersumpah dengan salah satu makhluknya, yaitu waktu. Sumpah Allah ini menandakan bahwa waktu memiliki arti yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan oleh manusia.

e.       Bekerja dengan sungguh-sungguh
Dalam AL-qur’an Allah tidak memerintahkan hanya asal bekerja saja namun harus dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al=qur’an tidak member peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan aktivitas kerja sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Ditegaskan dalam surat Al-ashr ayat 5-6 yang artinya “ karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan “( Shihab, 2007 ).

f.       Bekerja sebagai sebuah amanah
Jika pekerjaan dipandang sebagai amanah, maka seseorang akan menyadari bahwa dia mengambil peran dalam sebuah sistem. Sadar bahwa amanah utama yang diembannnya memiliki dampak pada pekerjaan dan urusan orang lain. Kesadaran ini akan membawa seseorang untuk memberikan lebih dalam menuntaskan pekerjaan, berinisiatif, dan tidak hanya terkotak-kotak pada poin kontrak. Seseorang akan bekerja sebaik-baiknya agar tidak merugikan pekerjaan rekan kerjanya, persis seperti analogi kopi yang saya sebut di atas.

g.      Bekerja sebagai sebuah ibadah
Dalam surat Adz-Dzariyat ditegaskan bahwa Al-qur’an menuntut agar semuakerjaaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allaha, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk  melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual. Seperti dalam firman Allah : Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum'ah [62]: 10) ( Shihab, 2007 ).

KESIMPULAN

a. Gaya kepemimpinan akan bersifat membangun jika gaya kepemimpinan yang digunakan sesuai dengan para followers/pengikutnya.

b. Pemimpin harus bersifat amanah, dan harus dekat dengan Allah agar mengetahui tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan bersifat lebih efisien dalam memimpin.

c. Mewujudkan pemimpin yang penolong yaitu peduli dengan sesama, professional dapat menciptakan para SDM yang bagus mutunya serta baik moralnya.