Suatu hari Rasulullah ke masjid dan melihat Abu Umamah,
seorang lelaki Anshar, sedang duduk termenung.
“Abu Umamah,” Rasulullah menyapa, “aku tidak pernah
melihatmu duduk-duduk di masjid di luar waktu shalat.” Rasul mungkin penasaran
melihat Abu Umamah seperti tak biasa.
Abu Umamah menjawab, “Aku sedang gundah. Aku sedang dililit
utang.”
Kita bayangkan Abu Umamah berkata dengan wajah datar,
sementara Rasulullah tersenyum.
“Kaumau kuajari doa agar Allah menghilangkan kegundahanmu
dan membantumu melunasi utangmu?” tanya Rasulullah.
“Mau, Rasul. Mau,” kata Abu Umamah dengan antusias.
“Amalkan doa ini setiap pagi dan sore.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan
kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari kekecutan (ketakutan) dan kikir,
dari lilitan utang dan pemaksaan orang.”
Abu Umamah menuturkan bahwa ia kemudian mengamalkan doa itu,
dan Allah benar-benar menghilangkan kegundahannya. Ia pun mampu melunasi
utangnya.
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Said
al-Khudri.
Tentu saja Abu Umamah tidak hanya mengamalkan doa itu. Ada
proses yang tak diceritakan hingga Abu Umamah menjadi lapang dan mampu melunasi
utang. Ada usaha selain amalan doa.
Doa di atas begitu populer. Barangkali Anda pernah atau
sering mendengar sang imam melantunkan doa itu setelah shalat berjamaah. Atau,
bahkan mungkin Anda hafal dan selalu memanjatkannya seusai bersembahyang.
Isinya begitu manusiawi. Delapan hal yang selalu ada dalam kehidupan kita dan
yang selalu ingin kita hindari: gundah dan sedih, ketakmampuan dan malas, takut
(pengecut) dan pelit, serta utang dan intimidasi orang lain. Tak heran jika doa
ma’tsur ini menjadi amalan favorit bagi sebagian orang. Anda mungkin
salah satunya.
Tetapi, sejauh mana Anda memahami kata-kata dalam doa itu?
Apa makna al-hamm (kegundahan, kegelisahan) dan al-hazan
(kesedihan), al-‘ajz (ketakmampuan, lemah) dan al-kasl
(kemalasan), al-jubn (kekecutan, ketakutan) dan al-bukhl (kikir),
serta ghalabah al-dain (lilitan utang) dan qahr al-rijal (pemaksaan
orang)? Kenapa kata-kata itu dibuat bersanding?
Sebab, dua kata yang disandingkan itu memiliki makna yang
berkaitan, kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Al-hamm disandingkan dengan al-hazan.
Jika Anda, misal, gelisah memikirkan kemungkinan-kemungkinan masa depan,
berarti Anda sedang mengalami al-hamm. Anda, misal, memikirkan
siapa jodoh Anda, ganteng/cantik atau tidak, mapan atau tidak, dan lain-lain.
Jika memikirkan hal-hal demikian membikin Anda gelisah, berarti Anda sedang
terjangkiti al-hamm. Sementara, jika, misal, Anda sedih teringat
kenangan bersama kekasih yang sudah menjadi jodoh orang lain sementara Anda
belum menemukan kekasih baru, berarti Anda sedang mengalami al-hazan.
Jadi, kebalikan dari Al-hamm, al-hazan adalah kegelisahan dan
kesedihan karena sesuatu yang telah terjadi.
Lalu, al-‘ajz disandingkan dengan al-kasl. Al-‘ajz
berarti lemah. Al-kasl berarti malas. Orang lemah dan orang malas
sebaiknya sama-sama jangan diserahi tugas atau kewajiban. Sebab, orang pertama
tidak punya kemampuan (qudrah), sedangkan orang terakhir tidak punya
kemauan (iradah).
Al-jubn (kekecutan,
ketakutan) disandingkan dengan al-bukhl (kikir, pelit).
Pengecut adalah ketika seseorang tidak mau menyumbangkan anugerah akal atau
kemampuan fisiknya untuk kebaikan. Sementara, orang pelit adalah yang enggan
mendermakan hartanya untuk kemuliaan.
Ghalabah al-dain
(lilitan utang) disandingkan dengan qahr al-rijal (pemaksaan orang lain,
di bawah kekuasaan orang lain). Apa kaitan keduanya? Utang itu membatasi gerak.
Hubungan relaks antara dua orang bisa jadi tegang dan terbatas sebab
utang-piutang. Orang yang berutang merasa berada di bawah kekuasaan orang yang
mengutangi. Dan adalah hak orang yang mengutangi untuk menagih dan bahkan
memaksa piutang jika sudah jatuh tempo.
Begitulah kurang-lebih penjelasan Ibnu Qayyim tentang diksi
Nabi dalam doa di atas. Memahami makna satu kata bahasa Arab terkadang tak
cukup hanya mengandalkan kamus dan mendalami makna doa Nabi terkadang tak cukup
hanya mengandalkan terjemahan.
Penting kiranya mengerti isi dan inti setiap doa yang kita
panjatkan, terutama doa ma’tsur dari Nabi yang terkadang puitis dan
singkat namun sesungguhnya memiliki makna yang padat. Dengan begitu, kita akan
lebih menghayati doa itu saat kita memanjatkannya kepada Tuhan. Lebih khusyuk.
Penghayatan dan kekhusyukan dalam berdoa dapat memberi efek kedamaian jiwa.
Selanjutnya, kedamaian jiwa dapat membantu kita secara tenang dan tawakal
menjalani aktivitas meraih apa yang kita sampaikan kepada Tuhan dalam doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar