Latar Belakang
Menjadi seorang pemimpin bukanlah merupakan perkara
yang mudah, namun banyak diantara kita yang berkeinginan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan sendiri
mengandung arti proses mempengaruhi orang lain sehingga yang dipengaruhi mau
mengerti arahan sang pemimpin. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang sulit itu pada
saat ini banyak teori-teori kepemimpinan untuk bahan belajar dan melatih
kepemimpinan seseorang. Gaya kepemimpinan seseorang berpengaruh positif
terhadap para perilaku anggotanya.
Seorang pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah
dari Allah yang disertai dengan tanggung jawab yang besar. Pemimpin juga harus
memiliki hubungan yang dekat dengan Allah agar seorang pemimpin selalu ingat
juga akan tugasnya sebagai makhluk di bumi yaitu sebagai khalifah (pemimpin)
dan sebagai abdullah (hamba Allah). Al-qur’an memerintahkan para pemimpin untuk
melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukan sikap positif kepada
pengikutnya. Selain itu, pemimpin juga harus mempunyai sikap efisien (tidak
boros) sehingga dana yang ada dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
Generasi muda sekarang harus mampu menjadikan
dirinya sebagai pemimpin yang penolong, bagus moralnya dan profesional.
Pemimpin yang penolong dapat sedikit demi sedikit meringankan beban orang lain.
Sedangkan pemimpin yang bagus moralnya dan profesional dapat menjadi teladan
bagi seluruh anggotanya. Sehingga terwujudlah organisasi yang professional
managemennya, bermoral pergaulannya dan bermanfaat guna program dan kinerjanya.
Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari
kata dasar pemimpin, dalam bahasa Inggrisnya “leadership” yang berati
kepemimpinan, dari kata dasar “leader” berarti pemimpin dan akar katanya
“to lead” yang terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan:
bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal, berbuat paling
dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat orang lain, membimbing,
menuntun, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya (Usman, 2006).
Secara terminologi menurut Terry dalam Davis
(1985) “Leadership is the relationship in which one person, or the leader
influences other to work together willingly on related tasks to attain that
which the leader desires“ kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu
orang lain untuk bekerja dengan antusias guna mencapai tujuan.
Gaya Kepemimpinan
Nasution (1994)
mengemukakan bahwa seseorang pemimpin harus mengembangkan suatu gaya dalam
memimpin bawahanya. Menurut Hersey dan Blancard (1982) empat perilaku pemimpin
yang spesifik: memberitahukan, menjual, berperan serta, dan mendelegasikan (telling,
selling, participating, delegating).
a.
Telling (memberitahukan)
Dicirikan
dengan perilaku tugas yang tinggi dan rendah hubungan, atau disebut dengan gaya
yang direktif yang menyediakan arahan dan supervisi yang spesifik dan jelas.
Telling dicirikan oleh perilaku pemimpin yang menetapkan peranan dan
memberitahukan seseorang atau grup tentang apa, kapan, dimana, bagaimana, dan
dengan siapa melakukan berbagai tugas. Selain itu, gaya ini juga dilambangkan
dengan komunikasi satu arah dimana pemimpin memberikan petunjuk atau
arahan-arahan kepada bawahan dalam menyelesaikan tugas dan pencapaian tujuan
(Hersey dan Blanchard, 1982). Dalam gaya ini pemimpin selalu memberikan
arahan/intruksi.
Adapun
inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan oleh
pemimpin (Thoha, 2007). Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan yang
tingkat kematanganya rendah (low maturity), yaitu tidak mampu dan tidak
mau memikul tanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan (Hersey dan Blanchard, 1982).
Kekuatan dan
kelemahan gaya kepemipinan telling adalah :
- 1. Kekuatan dalam gaya kepemimpinan ini adalah kejelasan tentang apa yang diinginkan, kapan keinginan itu harus dilaksanakan, dan bagaimana caranya.
- 2. Kelemahan dari pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini adalah pemimpin selalu ingin mendominasi semua persoalan sehingga ide dan gagasan bawahannya tidak berkembang. Semua persoalan akan bermuara kepadanya mengandung unsur ketergantungan yang tinggi pada pemimpin (Moeljono, 2003).
b.
Selling (menjajakan)
Dicirikan dengan perilaku tugas dan perilaku
hubungan yang sama tinggi. Pada gaya yang disebut selling ini pemimpin
masih menyediakan hampir arahan, namun melalui komunikasi dua arah dan
penjelasan. Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan dengan tingkat
kematangan rendah ke sedang (low to moderate maturity) yaitu tidak mampu
tapi mau memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas (Hersey dan
Blanchard, 1982.
Pemimpin juga menyediakan perilaku mendukung
dengan berusaha mendengarkan perasaan pengikut tentang keputusan yang dibuat,
serta ide-ide dan saran-saran mereka. Namun walaupun dukungan terhadap bawahan
ditingkatkan, pengambilan keputusan tetap pada pemimpin (Thoha, 2007). Dalam
gaya ini proses pengambilan keputusan terletak pada pemimpin, serta tugas-tugas
disampaikan dengan jelas.
c.
Partipating (mengikutsertakan)
Dicirikan dengan perilaku hubungan yang tinggi
dan perilaku rendah tugas. Pada gaya ini, perilaku pemimpin menekankan pada
banyak memberikan dukungan dan sedikit dalam pengarahan. Dalam penggunaan gaya ketiga
ini pemimpin dan pengikut saling tukar menukar ide dalam pemecahan masalah
dalam pembuatan keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan
pemimpin adalah secara aktiv mendengar. Tanggung jawab pemecahanan masalah dan
pembuatan keputusan sebagian besar pada pihak pengikut (Thoha, 2007). Gaya ini
sesuai jika diterapkan pada bawahan yang tingkat kematanganya sedang ke tinggi
(moderate to high maturity) yaitu mampu tapi tidak mau melakukan hal-hal
yang diinginkan pemimpin (Hersey dan Blanchard, 1982).
Gaya participating berarti semua anggota
maupun pemimpin ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, atau biasa
dilakukan dengan musyawarah, mufakat (demokrasi).
d.
Delegating (mendelegasikan)
Dicirikan dengan perilaku hubungan dan perilaku
tugas yang sama-sama rendah. Pemimpin dengan gaya seperti ini menyediakan
sedikit arahan dan memberikan sedikit dukungan atau tingkat komunikasi dua arah
yang rendah. Pemimpin mendelegasikan kepada bawahanya, dan bawahanya memiliki
kontrol untuk memutuskan sendiri tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas
(Toha, 2007). Gaya ini sesuai jika diterapkan pada bawahan yang tingkat
kematanganya tinggi (high maturity) yaitu mampu memikul tanggung jawab
(Hersey dan Blanchard, 1982).
Di tengah-tengah dinamika organisasi, maka
untuk mencapai efektifitas organisasi, maka keempat gaya kepemimpinan diatas
perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Ada saatnya memerlukan telling
tetapi ada saatnya pula diperlukan delegating dan yang lainya. Pemilihan
gaya kepemimpinan sendiri lebih diutamakan pada persoalan dengan siapa seorang
pemimpin berhadapan atau dengan kata lain siapa yang menjadi bawahannya (followers).
(Hersey dan Blanchard, 1982).
Gaya Kepemimpinan Di Masa Rasulullah
Hijrah berarti perpindahan/migrasi dari nabi
Muhammad dan pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Hal ini terjadi karena ada isu
mengenai akan dibunuhnya Nabi Muhammad SAW, maka secara diam-diam Nabi Muhammad
bersama Abu Bakar pergi meninggalkan kota Makkah. Sedikit demi sedikit Nabi
Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yastrib 320 km utara Makkah. Yang
kemudian kota Yastrib berubah nama menjadi Madinah (Shamsi, 1984).
Kepemimpinan Nabi Muhammad terbagi didua kota
yaitu di Makkah (selama 13 tahun) dan di Madinah (selama 10 tahun). Namun, di
waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan periode Makkah, Rasulullah
berhasil menjadikan masyarakat di kota Madinah sejahtera, atau yang biasa
disebut masyarakat madani. Terminologi masyarakat madani pertama kali
dipopulerkan oleh Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang
secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat
yang beradab (masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty
atau civilation, dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil
Society yaitu masyarakat yang menjunjung peradaban.(Barnadib,1998).
Dalam periode Madinah, konsep ini terlihat
lebih jelas dibanding periode Mekah. Rasulullah telah menjadikan Madinah dengan
kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada
di dalamanya sebagai basis untuk meletakkan fondasi keIslaman dan
kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini, Rasulullah berhasil membentuk
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh
penguasaan iman, ilmu dan peradaban. Konsep inilah yang belakangan ini
diistilahkan sebagai konsep masyarakat madani (Al-Mabarkafuri, 2008).
Dengan demikian, istilah masyarakat madani
memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah. Dari sini, kita bisa mengambil sebuah pendapat bahwa konsep
masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau
warga negara yang berperadaban secara materi (duniawi) saja. Akan tetapi,
konsep masyarakat madani sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis keimanan dan
keislaman yang kuat, yang kemudian dimanifestasikan dalam nilai-nilai dan
norma-norma yang dijunjung tinggi oleh seluruh elemen masyarakat. Kondisi
seperti ini harus pula disertai dengan geliat intelektual yang tinggi, sehingga
menghasilkan komunitas yang berintegritas tinggi dan berperadaban luas. Dalam
hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah
di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan akhirat (spirit keagamaan) sebagai
fondasi, dan dunia (materi) sebagai bangunannya.
Pemimpin Yang
Ideal
1.
Bermoral
a. Kepemimpinan yang Amanah
Dalam
pandangan Islam kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak
hanya dipertanggung jawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya saja
tetapi juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt. Dalam Al-Qur’an,
manusia satu-satunya makhluk yang dicela karena menerima amanah dari Allah SWT.
Pada saat makhluk lain menolaknya ketika ditawarkan kepadanya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al-ahzab (33): 72 yang artinya “Sesungguhnya
kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”. Namun kebanyakan manusia sering berlaku zalim
dan bodoh, yaitu mau menerima tugas tetapi tidak mau melaksanakanya. Ini
merupakan amanat yang sangat berat untuk diemban manusia padahal makhluk yang
lain memilih untuk ‘enggan’ menerima amanat ini (Chundori, 2012).
b. Hubungan Dekat dengan Allah
Seorang pemimpin harus memiliki hubungan yang
dekat dengan Allah agar selalu ingat akan tanggung jawabnya. Secara kategorial
Al-Qur’an mendudukkan manusia kedalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai hamba
(‘abd) dan Khalifah Allah (Priatna, 2004). Pandangan kategorikal ini tidak
mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualisme dikotomik. Dengan
penyebutan kedua fungsi ini, al-Quran ingin menekankan muatan fungsional yang
harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas - tugas kesejarahan dalam
kehidupannya di muka bumi. Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid),
dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Tuhan. Kedua,
manusia sebagai khalifah, dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara
horizontal dengan sesama makhluk. Tidak sukses sebagai hamba, jika seseorang
gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifatullah. Begitu sebaliknya, tidak
sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba
dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil)
adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah (Shihab, 2007).
c. Penolong
Pemimpin adalah pelayan, penolong, memiliki
kemampuan untuk membimbing (Darmawan, 2006). Perintah Allah untuk saling
tolong-menolong sesama manusia dalam hal kebaikan dan ketaqwaan tercantum dalam
QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Al-Qur’an dan terjemahan,
1998).
2.
Profesional
Betapa perlunya profesional tugas dan pekerjaan
dijiwai dengan semangat amanah yaitu jujur dan adil. Bila setiap muslim
menyadari tugas dan tanggung jawab insya Allah mampu meningkatkan semangat
kerja prestatif dengan dilandasi dengan kejujuran, keadilan, ketaatan,
keikhlasan dan kerja sama ( Fajal, 1997 ).
a. Bekerja yang memenuhi keahlian
Keahlian dan kemauan kita untuk belajarlah yang
bisa mempercepat kesuksesan. Dengan keahlian yang tinggi, tentu kita akan mudah
mencari pekerjaan atau bahkan membuka lapangan pekerjaan.
b. Bekerja dengan ilmu
Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup
untuk mengendalikan perusahaanya. Semakin besar kemampuan dan pengetahuannya
terhadap urusan pekerjaan, pengaruhnya akan semakin kuat. Allah telah berfirman
dalam surat Al-Mulk ayat 1 yang artinya “Maha Suci Allah yang ditangan-Nya
lah segala kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu”. Kekuasaan
berada ditangan-Nya sehingga Dia mampu berbuat apa saja yang dikehendaki.
Karena tidak ada yang mampu berbuat apa saja kecuali Allah. Dalam hal ini
kekuatan manusia untuk mengendalikan perusahaan karena kemampuan dan ilmunya
bukan berarti menyamai kekuasaan Allah yang menguasai seluruh langit dan bumi (
Hakim, 2007 ).
Ilmu pengetahuan memang sangat diperlukan,
contohnya ada orang yang sudah memiliki kepercayaan yang tinggi tapi masih
belum mampu mengembangkan kepemimpinan dirinya karena ia tak memiliki
pengetahuan yang tinggi tentang kepemimpinan. Untuk itu, ia harus belajar dan
berlatih tentang ilmu dasar kepemimpinan dan pengembangannya dan setelah itu
iya harus terus melatih ilmu yang dia miliki (
Multitama, 2007 )
c. Kerjasama
Untuk mewujudkan kepemimpinan yang sukses,
kerjasama harus terjalin antar anggota
dan orang lain. Dalam kerjasama kita juga harus dapat melakukan komunikasi yang
baik antar anggota. Komunikasi yang terhambat membuat banyak rencana yang telah
dibuat menjadi terhambat. Tanpa kominikasi, orang lain akan menganggap orang
lain tidak ada. Karena itu komunikasi harus dilakukan dengan baik dengan
orang-orang yang ada disekitar. Tujuan komunikasi sendiri adalah tersampaikanya
apa yang ingin anda sampaikan kepada orang lain. Komunikasi yang baik dan
efektif tidak menuntut banyak kata-kata yang indah yang membuat orang
terpesona. Kominikasi efektif merupakan komunikasi yang sederhana, tidak
bertele-teledan tepat pada sasaran yang dimaksud ( Multitama, 2007 ).
d. Menghargai waktu
”Demi waktu. Sesungguhnya manusia ada dalam
kerugian.” Dalam Alquran surat Al-ashr ayat 1 dan 2 ini, Allah SWT
bersumpah dengan salah satu makhluknya, yaitu waktu. Sumpah Allah ini
menandakan bahwa waktu memiliki arti yang sangat penting untuk senantiasa
diperhatikan oleh manusia.
e. Bekerja dengan sungguh-sungguh
Dalam AL-qur’an Allah tidak memerintahkan hanya
asal bekerja saja namun harus dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al=qur’an
tidak member peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan aktivitas kerja sepanjang
saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Ditegaskan dalam surat Al-ashr
ayat 5-6 yang artinya “ karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan “( Shihab, 2007 ).
f. Bekerja sebagai sebuah amanah
Jika pekerjaan dipandang sebagai amanah, maka
seseorang akan menyadari bahwa dia mengambil peran dalam sebuah sistem. Sadar
bahwa amanah utama yang diembannnya memiliki dampak pada pekerjaan dan urusan
orang lain. Kesadaran ini akan membawa seseorang untuk memberikan lebih dalam
menuntaskan pekerjaan, berinisiatif, dan tidak hanya terkotak-kotak pada poin
kontrak. Seseorang akan bekerja sebaik-baiknya agar tidak merugikan pekerjaan
rekan kerjanya, persis seperti analogi kopi yang saya sebut di atas.
g. Bekerja sebagai sebuah ibadah
Dalam surat Adz-Dzariyat ditegaskan bahwa
Al-qur’an menuntut agar semuakerjaaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allaha,
apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan
ibadah ritual. Seperti dalam firman Allah : Apabila telah melaksanakan shalat
(Jumat), bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu
ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum'ah [62]: 10) ( Shihab, 2007 ).
KESIMPULAN
a. Gaya kepemimpinan akan bersifat membangun jika gaya kepemimpinan yang digunakan sesuai dengan para followers/pengikutnya.
b. Pemimpin harus bersifat amanah, dan harus dekat dengan Allah agar mengetahui tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan bersifat lebih efisien dalam memimpin.
c. Mewujudkan pemimpin yang penolong yaitu peduli dengan sesama, professional dapat menciptakan para SDM yang bagus mutunya serta baik moralnya.